NIKAH ONLINE DI MASA PANDEMI COVID-19 DI KUA KECAMATAN MEDAN AMPLAS ANALISIS FIQH HANAFI DAN ASY-SYAFI’I
DOI:
https://doi.org/10.3122/jak.v4i2.72Kata Kunci:
Nikah Online, Covid-19, Hanafi, Asy-Syafi’i.Abstrak
Abstract
This research is comparative normative sociology research. research on online marriage that took place at the KUA Kec. Medan Amplas, Medan City, North Sumatra, The contract process is carried out online with the consent being said by the guardian, the kabul being said by the prospective groom. The issue of marriage as described in fiqh books does not seem to be seen from the type or model of the means used. But more emphasis on whether or not the conditions of marriage can be met. If all the conditions for marriage can be met by both the bride and groom, how the procession is carried out, the marriage is considered valid. And both are bound in a husband and wife relationship. However, if even one condition is not met even though the wedding procession is held in one assembly, the marriage is declared void. If you look at the meaning of "Ittiihad al-majlis" in the Hanafiyah book is: The meaning of presenting two mua'qidain consent granted at one majlis means with pronunciation. Lafanya put together, there should be no spare time. Even just standing up from the seat, can turn away from the assembly. There are too long separators will also turn away from "Ittihad al-majlis". Meanwhile, the Shafi'i school of thought argues that a united assembly is required, not only to ensure continuity between consent and qabul, but is very closely related to the duties of two witnesses who, according to this opinion, must be able to see with their own eyes that the ijab and qabul are actually being said. by both contracting parties. This opinion is held (mu'tamad) among the Shafi'iyyah.
Keywords: Online Marriage, Covid-19, Hanafi, Asy-Syafi'i.
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi normatif yang bersifat komparatif. penelitian tentang nikah online yang terjadi di KUA Kec. Medan Amplas, Kota Medan, Sumatera Utara, Proses akad dilaksanakan secara online dengan ijab diucapkan oleh wali, kabul diucapkan oleh calon mempelai laki-laki. Persoalan pernikahan seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih tampaknya bukan dilihat dari jenis atau model sarana yang digunakan. Tetapi lebih menekankan pada dapat tidaknya syarat-syarat pernikahan dipenuhi. Jika seluruh syarat pernikahan dapat dipenuhi oleh kedua calon mempelai, bagaimana cara dan prosesi yang dijalankan, pernikahan dianggap sah. Dan keduanya telah terikat dalam jalinan suami-isteri. Tetapi, jika satu syarat saja tidak terpenuhi meskipun prosesi pernikahan itu diadakan dalam satu majelis, pernikahan itu dinyatakan batal. Jika dilihat pemaknaan “Ittiihad al-majlis” pada kitab Hanafiyah ialah: Makna menghadirkan dua orang mua‘qidain ijab kabul pada satu majlis bermaksud dengan lafaz. Lafanya yang disatukan, tidak boleh ada senggang waktu. Bahkan hanya sekedar berdiri dari tempat duduk saja, bisa berpaling dari majelis. Ada pemisah terlalu lama juga akan berpaling dari “Ittihad al-majlis”. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat bahwa bersatu majelis disyaratkan, bukan saja untuk menjamin kesinambungan antara ijab dan kabul, tetapi sangat erat hubungannya dengan tugas dua orang saksi yang menurut pendapat ini, harus dapat melihat dengan mata kepalanya bahwa ijab dan kabul itu benar-benar diucapkan oleh kedua belah pihak yang berakad. Pendapat inilah yang dipegang (mu'tamad) di kalangan Syafi'iyyah.
Kata Kunci: Nikah Online, Covid-19, Hanafi, Asy-Syafi’i.